Manusia hidup dan Kematian
Manusia Hidup dan Kematian
A. Hidup
1. Pengertian Hidup
Pengertian hidup yg beragam
Kalau kita browsing untuk mengetahui opini orang2 tentang pengertian hidup … … ampuuun banyak yg bingung dan tak menentu arahnya. Ada yang pengertian hidup jomblo itu susah – mau hidup merit bingung, pengertian hidup untuk uang – uang untuk hidup, pengertian hidup itu u/ dinikmati – tapi pas sakit bingung, bahkan tidak sedikit yg hidupnya hampa walau sudah banyak yg dimilikinya…
Pengertian hidup semu
Kenapa sampai kita bingung akan pengertian hidup? Banyak alasannya, tapi ada satu persamaan, kencenderungan kita untuk menggunakan pikiran kita sendiri akan pengertian hidup itu untuk apa.
Begitu mengambil kesimpulan sendiri akan pengertian hidup itu u/ apa, lahirlah harapan, standar penilaian, sudut pandang, bagaimana melihat hidup ini …. …. Dan lebih parah lagi, diyakininya sebagai kebenaran yg mutlak ( sikap pikiran “aku benar” )
Tapi pas dihadapkan di realita, gubrak!! Terjadi ketidak sesuaian, dan timbulah kebingungan dan kekecewaan. Besar kekecewaan itu tergantung seberapa jauh jarak antara realita dan harapan kita. Semakin jauh ya semakin frustrasi saja tentunya.
Pengertian hidup berdasarkan prinsip alam.
Orang orang yg memiliki pengertian hidup berdasarkan prinsip alam kehidupan yg ada cenderung bahagia. Mereka paham bahwa semakin mereka hidup selaras dgn sistem kehidupan yg universal, semakin makmur dan bahagialah mereka.
Pengertian hidup sukses, hukum kepemimpinan, sebab akibat, hukum daya tarik, sikap positif, peremajaan sikap dan seterusnya, merupakan hal penting bagi orang2 ini untuk di pelihara dan di lakukan.
2. Pengertian Hidup Menrut Al-Quran
A. Hidup
1. Pengertian Hidup
Pengertian hidup yg beragam
Kalau kita browsing untuk mengetahui opini orang2 tentang pengertian hidup … … ampuuun banyak yg bingung dan tak menentu arahnya. Ada yang pengertian hidup jomblo itu susah – mau hidup merit bingung, pengertian hidup untuk uang – uang untuk hidup, pengertian hidup itu u/ dinikmati – tapi pas sakit bingung, bahkan tidak sedikit yg hidupnya hampa walau sudah banyak yg dimilikinya…
Pengertian hidup semu
Kenapa sampai kita bingung akan pengertian hidup? Banyak alasannya, tapi ada satu persamaan, kencenderungan kita untuk menggunakan pikiran kita sendiri akan pengertian hidup itu untuk apa.
Begitu mengambil kesimpulan sendiri akan pengertian hidup itu u/ apa, lahirlah harapan, standar penilaian, sudut pandang, bagaimana melihat hidup ini …. …. Dan lebih parah lagi, diyakininya sebagai kebenaran yg mutlak ( sikap pikiran “aku benar” )
Tapi pas dihadapkan di realita, gubrak!! Terjadi ketidak sesuaian, dan timbulah kebingungan dan kekecewaan. Besar kekecewaan itu tergantung seberapa jauh jarak antara realita dan harapan kita. Semakin jauh ya semakin frustrasi saja tentunya.
Pengertian hidup berdasarkan prinsip alam.
Orang orang yg memiliki pengertian hidup berdasarkan prinsip alam kehidupan yg ada cenderung bahagia. Mereka paham bahwa semakin mereka hidup selaras dgn sistem kehidupan yg universal, semakin makmur dan bahagialah mereka.
Pengertian hidup sukses, hukum kepemimpinan, sebab akibat, hukum daya tarik, sikap positif, peremajaan sikap dan seterusnya, merupakan hal penting bagi orang2 ini untuk di pelihara dan di lakukan.
2. Pengertian Hidup Menrut Al-Quran
Masa hidup manusia terbagi dua (QS 40/11), hidup pertama adalah di dunia kini dan hidup kedua berlaku di akhirat. Kedua macam hidup berlaku dalam keadaan konkrit.
Berbagai macam ajaran mengenai hakekat hidup dan tujuan hidup telah berkembang. Masing-masing berbeda tentang pengertian dan tujuan hidup. Hanya Al Qur’an lah yang dapat menjelaskan arti dan tujuan hidup manusia secukupnya sehingga dapat dipahami oleh setiap individu yang membutuhkannya.
Orang atheis mendasarkan doktrinnya atas teori naturalism tidak dapat memberikan alasan kenapa adanya hidup kini, kecuali sebagai kelanjutan dari hukum evolusi pada setiap benda yang sejak dulu telah mengalami perubahan alamiah. Sementara mereka berbantahan pula mengenai hukum evolusi itu sendiri disebabkan banyaknya benturan (dead lock) dalam analysa dan teorinya.
Benturan itu mereka namakan Missing Link. Untuk tujuan hidup mereka juga tidak mempunyai arah dan alasan yang tepat. Tetapi mereka semua sama berpendapat bahwa yang ada kini akan musnah dengan sendirinya di ujung zaman sesuai dengan menusut dan habisnya alat kebutuhan hidup dan disebabkan terganggunggunya stabilitas susunan bintang di alam semesta.
Mereka berkesimpulan bahwa hidup kini dimulai dari kekosongan, telah terwujud secara alamiah, dan sedang menuju ke arah kekosongan alam semesta dimana setiap individu hilang berlalu tanpa bekas dan tidak akan hidup kembali.
Dalam hal ini mereka melupakan unsur Roh yang ada pada setiap individu.
Dalam hal ini mereka melupakan unsur Roh yang ada pada setiap individu.
Pihakyang menganut paham Plurality atau Trinity, walaupun tidak membenarkan teori evolusi , malah mengakui manusia ini memulai hidupnya dari satu diri yang sengaja diciptakan Tuhan, tetapi mereka tdak dapat memberikan alasan tentang maksud apa yang terkandung dalam perencanaan penciptaan itu. Sebagai tujuan hidup, mereka sama sependapat bahwa nanti akan berlaku kehidupan balasan sesudah mati, tetapi dalam kedaan gaib bukan konkrit, dimana setiap pribadi baik akan menerima kebahagiaan jiwa dan pribadi jahat akan merana.
Pihak pertama di atas tadi bertntangan dengan dengan ajaran Al Qur’an mengenai asal hidup dan juga bertentangan mengenai tujuan hidup, sedangkan pihak kedua bersamaan dengan ajaran Al Qur’an mengenai asal usul hidup juga bersamaan tentang tujuan hidup tetapi berbeda dalam hal ghaib dan konkrit. Sebaliknya kedua pihak (Islam dan Plurality/Trinity) sependapat tentang arti hidup yang tidak lain hanyalah berjuang untuk kebutuhan dan kelanjutan generasi, tetapi mereka (Plurality/Trinity) melupakan bahwa pendapat demikian akan berujung dengan pemusnahan generasi mendatang karena setiap individu lebih mementingkan keadaan sekarang tanpa ancaman resiko konkrit yang akan dihadapi di akhirat nanti.
Al Qur’an yang menjadi dasar ajaran hidup dalam Islam, memberikan alasan dan keterangan secukupnya mengenai sebab, arti dan tujuan hidup manusia.
A. Sebab adanya hidup
Semesta raya ini dulunya dari kekosongan total, tidak satupun yang ada kecuali Allah yang ESA yang senantiasa dalam keadaan ghaib. DIA mempunyai maksud agar berlaku penyembahan terhadapNYA yang tentu harus dilaksanakan oleh makhluk yang memiliki logika Maka perlulah diciptakan jin dan manusia yang akan menjalani ujian dimana dapat ditentukan berlakunya pengabdian dimaksud. Kedua macam makhluk ini membutuhkan tempat hidup dimana segala kebutuhan dalam pengujian tersedia secara alamiah atau ilmiah, maka diciptakanlah benda angkasa berbagai bentuk, masa dan fungsi. Semuanya terlaksana secara logis menurut rencana tepat, dan tiba masanya dimulai penciptaan Jin dan Manusia, masing-masing berbeda di segi abstrak dan konkrit.
Semesta raya ini dulunya dari kekosongan total, tidak satupun yang ada kecuali Allah yang ESA yang senantiasa dalam keadaan ghaib. DIA mempunyai maksud agar berlaku penyembahan terhadapNYA yang tentu harus dilaksanakan oleh makhluk yang memiliki logika Maka perlulah diciptakan jin dan manusia yang akan menjalani ujian dimana dapat ditentukan berlakunya pengabdian dimaksud. Kedua macam makhluk ini membutuhkan tempat hidup dimana segala kebutuhan dalam pengujian tersedia secara alamiah atau ilmiah, maka diciptakanlah benda angkasa berbagai bentuk, masa dan fungsi. Semuanya terlaksana secara logis menurut rencana tepat, dan tiba masanya dimulai penciptaan Jin dan Manusia, masing-masing berbeda di segi abstrak dan konkrit.
Allah itu Pencipta tiap sesuatu dan DIA menjaga tiap sesuatu itu. (QS 39/62)
DIA pelaksana bagi apa yang DIA inginkan. (QS 85/16)
Dan tidaklah AKU ciptakan jin dan manusia itu kecuali untuk menyembah AKU (di akhirat utamanya). QS 51/96.
B. Arti Hidup KINI
Al Qur’an memberikan ajaran tentang arti hidup bahwa hendaklah menghubungkan dirinya secara langsung kepada Allah dengan cara melaksanakan hukum-hukum tertulis dalam al quran, dan menghubungkan dirinya pada masyarakat sesamanya dalam melaksanakan tugas amar makhruf nahi munkar.
Al Qur’an memberikan ajaran tentang arti hidup bahwa hendaklah menghubungkan dirinya secara langsung kepada Allah dengan cara melaksanakan hukum-hukum tertulis dalam al quran, dan menghubungkan dirinya pada masyarakat sesamanya dalam melaksanakan tugas amar makhruf nahi munkar.
DIAlah yang menciptakan kematian dan kehidupan agar DIA menguji kamu yang mana diantara kamu yang lebih baik perbuatannya, dan DIA Mulia dan Pengampun. (QS 67/2)
Bahwa Kami menunjukkan garis hukum padanya (manusia itu), terserah padanya untuk bersyukur atau kafir. (QS 76/3)
C. Tujuan hidup
Al Qur’an menjelaskan bahwa kehidupan kini bukanlah akan berlalu tanpa akibat tetapi berlangsung dengan catatan atas semua gerak zahir dan batin yang menentukan nilai setiap indivisu untuk kehidupan konkrit nantinya di alam akhirat, dimana kehidupan terpisah antara yang beriman dan yang kafir untuk selamanya.
Al Qur’an menjelaskan bahwa kehidupan kini bukanlah akan berlalu tanpa akibat tetapi berlangsung dengan catatan atas semua gerak zahir dan batin yang menentukan nilai setiap indivisu untuk kehidupan konkrit nantinya di alam akhirat, dimana kehidupan terpisah antara yang beriman dan yang kafir untuk selamanya.
Dan berlombalah kepada keampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya sama dengan luas planet-planet dan Bumi ini, dijanjikan untuk para muttaqien. (QS 3/133)
Sungguh kami ciptakan manusia itu pada perwujudan yang lebih baik. Kemudian kami tempatkan dia kepada kerendahan yang lebih rendah. Kecuali orang-orang beriman dan beramal shaleh, maka untuk mereka upah yang terhingga. QS 95/4-6)
Dengan keterangan singkat ini, jelaslah bahwa Al Qur’an bukan saja menjelaskan kenapa adanya hidup kini, tetapi juga memberikan arti hidup serta tujuannya yang harus dicapai oleh setiap diri.
Keterangan Al Qur’an seperti demikian dapat diterima akal sehat dan memang hanyalah kitab suci itulah yang mungkin memberikan penjelasan demikian.
B. Mati
1. Pengertian Mati beserta Menurut Al-Quran
Pengertian hidup menurut bahasa Arab adalah kebalikan dari mati (naqiidlul maut). Tanda-tanda kehidupan nampak dengan adanya kesadaran, kehendak, penginderaan, gerak, pernapasan, pertumbuhan, dan kebutuhan akan makanan.
Sedang pengertian mati dalam bahasa Arab adalah kebalikan dari hidup (naqiidlul hayah). Dalam kitab Lisanul Arab dikatakan :
“Mati adalah kebalikan dari hidup.”
Jadi selama arti mati adalah kebalikan dari hidup, maka tanda-tanda kematian berarti merupakan kebalikan dari tanda-tanda kehidupan, yang nampak dengan hilangnya kesadaran dan kehendak, tiadanya penginderaan, gerak, dan pernapasan, serta berhentinya pertumbuhan dan kebutuhan akan makanan.
Ada beberapa ayat dan hadits yang menunjukkan bahwa manusia akan mati ketika ruhnya (nyawanya) ditahan dan ketika jiwanya dipegang oleh Allah SWT Sang Pencipta. Allah SWT berfirman :
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya. Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan.” (QS. Az Zumar : 42)
Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Salamah RA bahwa Rasulullah SAW :
“Sesungguhnya jika ruh sedang dicabut, maka mata akan mengikutinya…”
Perlu dipahami bahwa tidak ada yang mengetahui hakekat jiwa dan ruh tersebut kecuali Allah SWT. Demikian pula masalah pemegangan/pencabutan serta pengembalian ruh dan jiwa kepada Allah SWT selaku pencipta keduanya, termasuk dalam perkara ghaib yang berada di luar jangkauan eksperimen ilmiah. Yang dapat diamati hanyalah pengaruh-pengaruh fenomena tersebut dalam tubuh fisik manusia, berupa tanda-tanda yang menunjukkan terjadinya kematian.
Meskipun beberapa ayat dan hadits telah menunjukkan bahwa berhentinya kehidupan adalah dengan pencabutan ruh dan penahanan jiwa, akan tetapi ayat atau hadits seperti itu tidak menentukan titik waktu kapan terjadinya pencabutan ruh, penahanan jiwa, dan berhentinya kehidupan. Pemberitaan wahyu tentang hal tersebut, ialah bahwa ruh jika dicabut, akan diikuti oleh pandangan mata, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits di atas. Demikian pula terdapat keterangan dari sabda Rasulullah SAW :
“Jika kematian telah menghampiri kalian, maka pejamkanlah penglihatan kalian, sebab penglihatan akan mengikuti ruh (yang sedang dicabut)…” (HR. Ahmad, dari Syadad bin Aus RA)
Oleh karena itu, penentuan titik waktu berhentinya kehidupan berarti memerlukan penelaahaan terhadap manath (fakta yang menjadi objek penerapan hukum) pada seseorang yang akan ditetapkan telah mati dan telah berhenti kehidupannya. Penelaahan ini membutuhkan keahlian dan pengetahuan.
Sebelum ilmu-ilmu kedokteran maju dan sebelum adanya penelaahan organ tubuh secara teliti serta penemuan organ tubuh buatan, para dokter menganggap bahwa berhentinya jantung merupakan indikasi kematian manusia dan berhentinya kehidupannya. Namun kini mereka telah mengoreksi pendapat tersebut. Mereka kini mengatakan bahwa berhentinya detak jantung tidak selalu menunjukkan matinya manusia. Bahkan terkadang jantung sudah berhenti tetapi manusia tetap hidup. Begitu pula operasi jantung terbuka, mengharuskan penghentian jantung.
Mereka kini mengatakan bahwa indikator yang menunjukkan kematian seseorang dan berhentinya kehidupan padanya, adalah matinya batang otak (brain stem). Batang otak adalah semacam tangkai pada otak yang berbentuk penyangga atau tonggak, yang terletak pada pertengahan bagian akhir dari otak sebelah bawah, yang berhubungan dengan jaringan syaraf di leher. Di dalamnya terdapat jaringan syaraf yang jalin menjalin. Batang otak merupakan sirkuit yang menghubungkan otak dengan seluruh anggota tubuh dan dunia luar, yang berfungsi membawa stimulus penginderaan kepada otak dan membagikan seluruh respons yang dikeluarkan oleh otak untuk melaksanakan pesan-pesan otak.
Batang otak merupakan bagian otak yang berhenti berfungsi paling akhir, sebab matinya otak dan kulit/tutup otak terjadi sebelum matinya batang otak. Jika batang otak mati, matilah manusia dan berakhirlah kehidupannya secara total, meskipun jantungnya masih berdenyut, kedua paru-parunya masih bernapas seperti biasa, dan organ-organ lain masih berfungsi. Terkadang kematian batang otak terjadi sebelum berhentinya jantung, misalnya bila ada pukulan langsung pada otak, atau gegar otak, atau pemotongan batang otak. Dalam keadaan sakit, berhenti dan matinya jantung seseorang terjadi sebelum berhenti dan matinya otak.
Ada beberapa peristiwa yang membingungkan para dokter. Pernah tercatat ada otak yang sudah tak berfungsi, tetapi organ-organ tubuh lainnya masih berfungsi. Telah diberitakan ada seorang wanita Finlandia yang dapat melahirkan seorang bayi, padahal dia telah mengalami koma total selama dua setengah bulan. Wanita tersebut koma karena benturan yang mengakibatkan gegar otak. Tapi anehnya, wanita itu baru meninggal dua hari setelah dia melahirkan bayinya. Dalam keadaan komanya, dia bernapas dengan alat pernapasan, diberi makan lewat tabung, dan diganti darahnya setiap minggu selama 10 minggu. Bayi yang dilahirkannya dalam keadaan sehat dan normal.
Demikian pendapat para dokter. Adapun para fuqaha, mereka tidak memutuskan terjadinya kematian, kecuali setelah adanya keyakinan akan datangnya kematian pada seseorang. Mereka telah menyebut tanda-tanda yang dijadikan bukti-bukti adanya kematian, di antaranya: nafas berhenti, mulut terbuka, mata terbelalak, pelipis cekung, hidung menguncup, pergelangan tangan merenggang, dan kedua telapak kaki lemas sehingga tidak dapat ditekuk ke atas.
Jika muncul keraguan (syak) akan kematian seseorang, misalnya jika jantungnya berhenti berdetak, atau pingsan, atau dalam keadaan koma total karena sesuatu sebab, maka dalam hal ini wajib menunggu untuk memastikan kematiannya. Kepastian kematiannya nampak dari adanya tanda-tanda kematian atau adanya perubahan bau dari orang tersebut.
Adapun hukum syara’ yang lebih kuat (raajih) dan menjadi dugaan kuat kami, ialah bahwa seseorang tidak dihukumi mati kecuali setelah ada keyakinan akan kematiannya, dengan adanya tanda-tanda yang menunjukkan kematian sebagaimana yang disebutkan oleh para fuqaha.
Kami berpendapat demikian karena kehidupan pada manusia adalah sesuatu yang diyakini adanya, dan tidak dihukumi telah hilang kecuali dengan suatu alasan yang yakin pula. Hilangnya kehidupan tidak boleh dihukumi dengan alasan yang meragukan (syak), sebab sesuatu yang yakin tidak dapat dihilangkan keberadaannya dengan alasan yang meragukan. Begitu pula hilangnya kehidupan tidak dapat diputuskan dengan alasan yang meragukan, karena prinsip asal untuk menentukan keberadaan sesuatu adalah tetapnya apa yang ada pada sesuatu yang sudah ada, sampai ada suatu alasan yang membatalkan keberadaannya secara yakin. Perlu diingat pula bahwa kematian adalah kebalikan dari kehidupan, sehingga harus nampak tanda-tanda yang berkebalikan dari tanda-tanda kehidupan, seperti hilangnya akal, kesadaran, dan penginderaan, berhentinya nafas, serta tidak adanya kebutuhan akan makanan.
Atas dasar ini, maka pendapat para dokter bahwa matinya batang otak adalah tanda matinya manusia dan berhentinya kehidupannya secara medis, tidaklah sesuai dengan hukum syara’. Tidak berfungsinya batang otak dan seluruh organ tubuh yang vital –seperti jantung, paru-paru, hati– tidak dapat menjadi indikator kematian seseorang menurut hukum syara’. Yang menjadi indikator, adalah bila seluruh organ tubuh vital tidak berfungsi lagi, disertai dengan hilangnya seluruh tanda- tanda kehidupan pada seluruh seluruh organ-organ tersebut.
Terhadap orang yang batang otaknya telah mati, dengan sebagian organ tubuh vitalnya yang masih berfungsi –yang menurut para dokter telah dianggap mati menurut ilmu kedokteran– begitu pula seseorang yang ada dalam sakaratul maut –yang disebut para fuqaha, telah sampai pada keadaan “gerakan binatang yang disembelih”/harakatul madzbuh– yang tidak mampu lagi untuk melihat, berbicara, bergerak dengan sadar, serta sudah tidak mungkin lagi melanjutkan kehidupannya, maka dalam hal ini ada beberapa hukum syara’ yang berlaku padanya. Hukum yang terpenting adalah sebagai berikut :
1. Orang tersebut tidak boleh mewarisi harta orang lain, dan tidak boleh pula mewariskan harta kepada orang lain, sementara dia masih dalam keadaan tersebut. Bahwa dia tidak mewarisi harta orang lain, karena dia telah kehilangan kehidupannya yang tetap, yang ditandai dengan adanya kesadaran, gerakan, dan kehendak. Sedang syarat untuk ahli waris supaya dapat menerima harta warisan, ialah bahwa dalam jiwanya harus terdapat kehidupan yang tetap. Namun demikian, dalam keadaan seperti ini harta warisan tidak dibagi sampai orang tersebut diyakini telah mati.
Maka dari itu, janin tidak dapat mewarisi kecuali jika dia telah lahir dan mempunyai tanda-tanda yang menunjukkan adanya kehidupan yang tetap padanya, seperti adanya tangisan saat bayi lahir, atau dia telah menguap. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dan Al Musawwir bin Makhramah RA, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda :
“Anak kecil (bayi) tidak berhak mewarisi (harta warisan) hingga dia menangis dengan keras.” (HR. Ibnu Majah)
Adapun bahwa dia tidak dapat mewariskan, dan juga harta warisannya tidak boleh dibagi jika dia dalam keadaan seperti ini, karena syarat pemindahan kepemilikan harta dari pewaris kepada ahli warisnya, ialah adanya keyakinan akan kematian pewaris. Orang yang batang otaknya telah mati, sementara sebagian organ vitalnya masih berfungsi, atau orang yang berada dalam sakaratul maut dan sampai pada “gerakan binatang yang disembelih” (harakatul madzbuh), sebenarnya masih mempunyai sebagian tanda kehidupan. Kematiannya belum dapat diyakini. Karenanya, harta warisannya tidak boleh dibagikan, kecuali setelah adanya keyakinan akan kematiannya.
2. Tindakan Kriminal Terhadapnya :
(a). Jika seseorang melakukan tindakan kriminal atas orang lain, lalu memotong batang otak orang tersebut, atau membuatnya berada dalam sakaratul maut, dan sampai pada “gerakan binatang yang disembelih” (harakatul madzbuh), serta bisa dipastikan bahwa dia akan mati dan tak akan pernah hidup lagi, kemudian datang orang kedua yang melanjutkan tindakan kriminal itu, maka yang dianggap pembunuh adalah orang pertama tadi. Sebab, dialah yang telah membuat korban menjadi tidak mungkin lagi melanjutkan kehidupannya. Karena itu, orang pertama itulah yang diqishash dan dihukum mati karena telah membunuh korban. Adapun orang kedua, dia tidak dianggap sebagai pembunuh. Dia tidak diqishash, dan tidak dihukum mati karena membunuh korban, tetapi dikenai sanksi berupa ta’zir, sebab dia telah melakukan pelanggaran terhadap kehormatan orang lain.
Tapi kalau orang pertama tadi tidak membuat korban sampai pada “gerakan binatang yang disembelih” (harakatul madzbuh), serta hanya melukainya sampai luka berat, sementara pada diri korban masih ada kehidupan yang tetap –ditandai dengan adanya kesadaran, penginderaan, gerakan sadar– lalu datang orang kedua dan membunuhnya, maka dalam hal ini orang kedualah yang dianggap sebagai pembunuh. Dia wajib diqishash dan dihukum mati karena membunuh orang tersebut. Adapun orang pertama, tidak dianggap pembunuh. Dia dikenai sanksi karena melanggar kehormatan orang lain. Dia wajib membayar diyat sesuai organ tubuh yang dirusak dari organ korban yang dianiaya.
(b). Jika orang yang dianiaya adalah seorang khalifah, atau orang yang dalam sakaratul maut/sampai pada “gerakan binatang yang disembelih” (harakatul madzbuh) adalah seorang khalifah, maka dalam hal ini tidak boleh diangkat khalifah lain untuk menggantikannya, kecuali setelah dipastikan kematiannya. Hal ini seperti yang pernah terjadi pada masa shahabat –radliyallahu ‘anhum– yaitu peristiwa yang terjadi pada Abu Bakar dan Umar. Para shahabat tidak membai’at Umar, kecuali setelah mereka yakin akan kematian Abu Bakar. Begitu pula para Ahlusy Syura (enam orang shahabat yang ditunjuk Umar untuk bermusyawarah memilih khalifah) tidak melakukan pemilihan khalifah kecuali setelah mereka yakin akan kematian Umar. Adapun bila khalifah dalam keadaan sakaratul maut, atau sampai pada “gerakan binatang yang disembelih” (harakatul madzbuh), maka dia berhak –jika umat memintanya– untuk menunjuk penggantinya, dan dia mampu untuk melakukan penunjukan pengganti. Ini seperti yang pernah dilakukan Abu Bakar dan Umar dahulu tatkala mereka menunjuk penggantinya masing-masing
1. Pengertian Mati beserta Menurut Al-Quran
Pengertian hidup menurut bahasa Arab adalah kebalikan dari mati (naqiidlul maut). Tanda-tanda kehidupan nampak dengan adanya kesadaran, kehendak, penginderaan, gerak, pernapasan, pertumbuhan, dan kebutuhan akan makanan.
Sedang pengertian mati dalam bahasa Arab adalah kebalikan dari hidup (naqiidlul hayah). Dalam kitab Lisanul Arab dikatakan :
“Mati adalah kebalikan dari hidup.”
Jadi selama arti mati adalah kebalikan dari hidup, maka tanda-tanda kematian berarti merupakan kebalikan dari tanda-tanda kehidupan, yang nampak dengan hilangnya kesadaran dan kehendak, tiadanya penginderaan, gerak, dan pernapasan, serta berhentinya pertumbuhan dan kebutuhan akan makanan.
Ada beberapa ayat dan hadits yang menunjukkan bahwa manusia akan mati ketika ruhnya (nyawanya) ditahan dan ketika jiwanya dipegang oleh Allah SWT Sang Pencipta. Allah SWT berfirman :
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya. Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan.” (QS. Az Zumar : 42)
Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Salamah RA bahwa Rasulullah SAW :
“Sesungguhnya jika ruh sedang dicabut, maka mata akan mengikutinya…”
Perlu dipahami bahwa tidak ada yang mengetahui hakekat jiwa dan ruh tersebut kecuali Allah SWT. Demikian pula masalah pemegangan/pencabutan serta pengembalian ruh dan jiwa kepada Allah SWT selaku pencipta keduanya, termasuk dalam perkara ghaib yang berada di luar jangkauan eksperimen ilmiah. Yang dapat diamati hanyalah pengaruh-pengaruh fenomena tersebut dalam tubuh fisik manusia, berupa tanda-tanda yang menunjukkan terjadinya kematian.
Meskipun beberapa ayat dan hadits telah menunjukkan bahwa berhentinya kehidupan adalah dengan pencabutan ruh dan penahanan jiwa, akan tetapi ayat atau hadits seperti itu tidak menentukan titik waktu kapan terjadinya pencabutan ruh, penahanan jiwa, dan berhentinya kehidupan. Pemberitaan wahyu tentang hal tersebut, ialah bahwa ruh jika dicabut, akan diikuti oleh pandangan mata, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits di atas. Demikian pula terdapat keterangan dari sabda Rasulullah SAW :
“Jika kematian telah menghampiri kalian, maka pejamkanlah penglihatan kalian, sebab penglihatan akan mengikuti ruh (yang sedang dicabut)…” (HR. Ahmad, dari Syadad bin Aus RA)
Oleh karena itu, penentuan titik waktu berhentinya kehidupan berarti memerlukan penelaahaan terhadap manath (fakta yang menjadi objek penerapan hukum) pada seseorang yang akan ditetapkan telah mati dan telah berhenti kehidupannya. Penelaahan ini membutuhkan keahlian dan pengetahuan.
Sebelum ilmu-ilmu kedokteran maju dan sebelum adanya penelaahan organ tubuh secara teliti serta penemuan organ tubuh buatan, para dokter menganggap bahwa berhentinya jantung merupakan indikasi kematian manusia dan berhentinya kehidupannya. Namun kini mereka telah mengoreksi pendapat tersebut. Mereka kini mengatakan bahwa berhentinya detak jantung tidak selalu menunjukkan matinya manusia. Bahkan terkadang jantung sudah berhenti tetapi manusia tetap hidup. Begitu pula operasi jantung terbuka, mengharuskan penghentian jantung.
Mereka kini mengatakan bahwa indikator yang menunjukkan kematian seseorang dan berhentinya kehidupan padanya, adalah matinya batang otak (brain stem). Batang otak adalah semacam tangkai pada otak yang berbentuk penyangga atau tonggak, yang terletak pada pertengahan bagian akhir dari otak sebelah bawah, yang berhubungan dengan jaringan syaraf di leher. Di dalamnya terdapat jaringan syaraf yang jalin menjalin. Batang otak merupakan sirkuit yang menghubungkan otak dengan seluruh anggota tubuh dan dunia luar, yang berfungsi membawa stimulus penginderaan kepada otak dan membagikan seluruh respons yang dikeluarkan oleh otak untuk melaksanakan pesan-pesan otak.
Batang otak merupakan bagian otak yang berhenti berfungsi paling akhir, sebab matinya otak dan kulit/tutup otak terjadi sebelum matinya batang otak. Jika batang otak mati, matilah manusia dan berakhirlah kehidupannya secara total, meskipun jantungnya masih berdenyut, kedua paru-parunya masih bernapas seperti biasa, dan organ-organ lain masih berfungsi. Terkadang kematian batang otak terjadi sebelum berhentinya jantung, misalnya bila ada pukulan langsung pada otak, atau gegar otak, atau pemotongan batang otak. Dalam keadaan sakit, berhenti dan matinya jantung seseorang terjadi sebelum berhenti dan matinya otak.
Ada beberapa peristiwa yang membingungkan para dokter. Pernah tercatat ada otak yang sudah tak berfungsi, tetapi organ-organ tubuh lainnya masih berfungsi. Telah diberitakan ada seorang wanita Finlandia yang dapat melahirkan seorang bayi, padahal dia telah mengalami koma total selama dua setengah bulan. Wanita tersebut koma karena benturan yang mengakibatkan gegar otak. Tapi anehnya, wanita itu baru meninggal dua hari setelah dia melahirkan bayinya. Dalam keadaan komanya, dia bernapas dengan alat pernapasan, diberi makan lewat tabung, dan diganti darahnya setiap minggu selama 10 minggu. Bayi yang dilahirkannya dalam keadaan sehat dan normal.
Demikian pendapat para dokter. Adapun para fuqaha, mereka tidak memutuskan terjadinya kematian, kecuali setelah adanya keyakinan akan datangnya kematian pada seseorang. Mereka telah menyebut tanda-tanda yang dijadikan bukti-bukti adanya kematian, di antaranya: nafas berhenti, mulut terbuka, mata terbelalak, pelipis cekung, hidung menguncup, pergelangan tangan merenggang, dan kedua telapak kaki lemas sehingga tidak dapat ditekuk ke atas.
Jika muncul keraguan (syak) akan kematian seseorang, misalnya jika jantungnya berhenti berdetak, atau pingsan, atau dalam keadaan koma total karena sesuatu sebab, maka dalam hal ini wajib menunggu untuk memastikan kematiannya. Kepastian kematiannya nampak dari adanya tanda-tanda kematian atau adanya perubahan bau dari orang tersebut.
Adapun hukum syara’ yang lebih kuat (raajih) dan menjadi dugaan kuat kami, ialah bahwa seseorang tidak dihukumi mati kecuali setelah ada keyakinan akan kematiannya, dengan adanya tanda-tanda yang menunjukkan kematian sebagaimana yang disebutkan oleh para fuqaha.
Kami berpendapat demikian karena kehidupan pada manusia adalah sesuatu yang diyakini adanya, dan tidak dihukumi telah hilang kecuali dengan suatu alasan yang yakin pula. Hilangnya kehidupan tidak boleh dihukumi dengan alasan yang meragukan (syak), sebab sesuatu yang yakin tidak dapat dihilangkan keberadaannya dengan alasan yang meragukan. Begitu pula hilangnya kehidupan tidak dapat diputuskan dengan alasan yang meragukan, karena prinsip asal untuk menentukan keberadaan sesuatu adalah tetapnya apa yang ada pada sesuatu yang sudah ada, sampai ada suatu alasan yang membatalkan keberadaannya secara yakin. Perlu diingat pula bahwa kematian adalah kebalikan dari kehidupan, sehingga harus nampak tanda-tanda yang berkebalikan dari tanda-tanda kehidupan, seperti hilangnya akal, kesadaran, dan penginderaan, berhentinya nafas, serta tidak adanya kebutuhan akan makanan.
Atas dasar ini, maka pendapat para dokter bahwa matinya batang otak adalah tanda matinya manusia dan berhentinya kehidupannya secara medis, tidaklah sesuai dengan hukum syara’. Tidak berfungsinya batang otak dan seluruh organ tubuh yang vital –seperti jantung, paru-paru, hati– tidak dapat menjadi indikator kematian seseorang menurut hukum syara’. Yang menjadi indikator, adalah bila seluruh organ tubuh vital tidak berfungsi lagi, disertai dengan hilangnya seluruh tanda- tanda kehidupan pada seluruh seluruh organ-organ tersebut.
Terhadap orang yang batang otaknya telah mati, dengan sebagian organ tubuh vitalnya yang masih berfungsi –yang menurut para dokter telah dianggap mati menurut ilmu kedokteran– begitu pula seseorang yang ada dalam sakaratul maut –yang disebut para fuqaha, telah sampai pada keadaan “gerakan binatang yang disembelih”/harakatul madzbuh– yang tidak mampu lagi untuk melihat, berbicara, bergerak dengan sadar, serta sudah tidak mungkin lagi melanjutkan kehidupannya, maka dalam hal ini ada beberapa hukum syara’ yang berlaku padanya. Hukum yang terpenting adalah sebagai berikut :
1. Orang tersebut tidak boleh mewarisi harta orang lain, dan tidak boleh pula mewariskan harta kepada orang lain, sementara dia masih dalam keadaan tersebut. Bahwa dia tidak mewarisi harta orang lain, karena dia telah kehilangan kehidupannya yang tetap, yang ditandai dengan adanya kesadaran, gerakan, dan kehendak. Sedang syarat untuk ahli waris supaya dapat menerima harta warisan, ialah bahwa dalam jiwanya harus terdapat kehidupan yang tetap. Namun demikian, dalam keadaan seperti ini harta warisan tidak dibagi sampai orang tersebut diyakini telah mati.
Maka dari itu, janin tidak dapat mewarisi kecuali jika dia telah lahir dan mempunyai tanda-tanda yang menunjukkan adanya kehidupan yang tetap padanya, seperti adanya tangisan saat bayi lahir, atau dia telah menguap. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dan Al Musawwir bin Makhramah RA, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda :
“Anak kecil (bayi) tidak berhak mewarisi (harta warisan) hingga dia menangis dengan keras.” (HR. Ibnu Majah)
Adapun bahwa dia tidak dapat mewariskan, dan juga harta warisannya tidak boleh dibagi jika dia dalam keadaan seperti ini, karena syarat pemindahan kepemilikan harta dari pewaris kepada ahli warisnya, ialah adanya keyakinan akan kematian pewaris. Orang yang batang otaknya telah mati, sementara sebagian organ vitalnya masih berfungsi, atau orang yang berada dalam sakaratul maut dan sampai pada “gerakan binatang yang disembelih” (harakatul madzbuh), sebenarnya masih mempunyai sebagian tanda kehidupan. Kematiannya belum dapat diyakini. Karenanya, harta warisannya tidak boleh dibagikan, kecuali setelah adanya keyakinan akan kematiannya.
2. Tindakan Kriminal Terhadapnya :
(a). Jika seseorang melakukan tindakan kriminal atas orang lain, lalu memotong batang otak orang tersebut, atau membuatnya berada dalam sakaratul maut, dan sampai pada “gerakan binatang yang disembelih” (harakatul madzbuh), serta bisa dipastikan bahwa dia akan mati dan tak akan pernah hidup lagi, kemudian datang orang kedua yang melanjutkan tindakan kriminal itu, maka yang dianggap pembunuh adalah orang pertama tadi. Sebab, dialah yang telah membuat korban menjadi tidak mungkin lagi melanjutkan kehidupannya. Karena itu, orang pertama itulah yang diqishash dan dihukum mati karena telah membunuh korban. Adapun orang kedua, dia tidak dianggap sebagai pembunuh. Dia tidak diqishash, dan tidak dihukum mati karena membunuh korban, tetapi dikenai sanksi berupa ta’zir, sebab dia telah melakukan pelanggaran terhadap kehormatan orang lain.
Tapi kalau orang pertama tadi tidak membuat korban sampai pada “gerakan binatang yang disembelih” (harakatul madzbuh), serta hanya melukainya sampai luka berat, sementara pada diri korban masih ada kehidupan yang tetap –ditandai dengan adanya kesadaran, penginderaan, gerakan sadar– lalu datang orang kedua dan membunuhnya, maka dalam hal ini orang kedualah yang dianggap sebagai pembunuh. Dia wajib diqishash dan dihukum mati karena membunuh orang tersebut. Adapun orang pertama, tidak dianggap pembunuh. Dia dikenai sanksi karena melanggar kehormatan orang lain. Dia wajib membayar diyat sesuai organ tubuh yang dirusak dari organ korban yang dianiaya.
(b). Jika orang yang dianiaya adalah seorang khalifah, atau orang yang dalam sakaratul maut/sampai pada “gerakan binatang yang disembelih” (harakatul madzbuh) adalah seorang khalifah, maka dalam hal ini tidak boleh diangkat khalifah lain untuk menggantikannya, kecuali setelah dipastikan kematiannya. Hal ini seperti yang pernah terjadi pada masa shahabat –radliyallahu ‘anhum– yaitu peristiwa yang terjadi pada Abu Bakar dan Umar. Para shahabat tidak membai’at Umar, kecuali setelah mereka yakin akan kematian Abu Bakar. Begitu pula para Ahlusy Syura (enam orang shahabat yang ditunjuk Umar untuk bermusyawarah memilih khalifah) tidak melakukan pemilihan khalifah kecuali setelah mereka yakin akan kematian Umar. Adapun bila khalifah dalam keadaan sakaratul maut, atau sampai pada “gerakan binatang yang disembelih” (harakatul madzbuh), maka dia berhak –jika umat memintanya– untuk menunjuk penggantinya, dan dia mampu untuk melakukan penunjukan pengganti. Ini seperti yang pernah dilakukan Abu Bakar dan Umar dahulu tatkala mereka menunjuk penggantinya masing-masing